Akhir-akhir ini, publik dibuat heboh dengan adanya rencana pemerintah Indonesia untuk menaikkan tarif PPN atau pengenaan multitarif PPN. Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi barang atau jasa yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi atau badan usaha yang dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak.
Kenaikan tarif PPN yang menjadi 11% berlaku pada tanggal 1 April 2022. Kemudian terjadi peningkatan tarif menjadi 12% mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025. Dalam hal kenaikan tersebut belum tentu dapat mencerminkan peningkatan keadilan. Oleh karena itu penaikkan tarif PPN dapat menurunkan daya beli masyarakat terutama pada masyarakat kelas menengah ke bawah dalam menghadapi PPN yang tidak pandang bulu.
Hal ini dapat digambarkan dengan misalkan pada waktu pandemi Covid-19, masyarakat mengurungkan niat untuk membeli suatu barang yang dikarenakan telah terjadi penurunan pendapatan pada sebagian besar masyarakat. Akan tetapi niat tersebut harus direnungkan lagi yang dikarenakan terjadi kenaikan tarif PPN yang berdampak pada peningkatan harga beli barang.
Lalu bagaimana kaitannya antara reformasi PPN saat ini dengan pemenuhan asas perpajakan. Jika dilihat dari asas revenue productivity, yang lebih ada kaitannya dengan kepentingan pemerintah. Antara asas-asas di dalam perpajakan seharusnya tidak saling bertentangan seperti antara asas revenue productivity dan asas equity tetapi saling melengkapi satu sama lain dan berkesinambungan.
Oleh karena itu apakah dalam hal reformasi PPN di Indonesia saat ini pemerintah sudah memperhatikan asas-asas pemungutan pajak? Apabila melihat kepentingan pada asas revenue productivity dengan asas equity berada pada titik yang berlawanan.
Kekuasaan tidak hanya terjadi di sebuah negara, kekuasaan bisa terjadi dimana saja seperti organisasi. Kekuasaan di dalam organisasi memiliki efek yang sangat besar dan berpengaruh, namun hal itu sulit untuk diserap dan untuk dilihat.. Namun, para pemegang kekuasaan juga harus berhati-hati dengan setiap keputusan yang dibuatnya.
Seorang pengambil keputusan memiliki hanya bertindak berdasarkan persepsinya dan memiliki keterbatasan pengetahuan. Pikiran rasional dirasa tidak diperlukan lagi jika seorang pembuat keputusan merasa keputusan yang diambil sudah dirasa erat dengan kepentingan pribadinya.
PPN merupakan pajak yang mengenakan atas setiap transaksi (Thuronyi, 2003). Transaksi yang dianggap dikenai PPN disebut dengan taxable transactions, diantaranya yaitu penyerahan barang dan/atau jasa, impor, ekspor, dan deemed supply.
Lalu dalam menentukan sebuah ketentuan untuk negaranya, pemerintah harus melibatkan semua elemen terkait sebelum memutuskan sebuah ketentuan yang akan digunakan. Adam Smith mengemukakan pedoman agar peraturan pajak memiliki keadilan bagi semua elemen, maka harus memenuhi 4 syarat, yaitu Equality & Equity, Certainty, Convenience of Payment, dan Economic of Collection.
Reformasi PPN merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang kemudian tertuang dan disahkan pada UU HPP. Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Pajak merancang optimalisasi pengenaan pajak melalui perluasan basis PPN serta beberapa pengaturan terkait. Sebelum disahkannya UU HPP, sistem yang berlaku bagi PPN dinilai kurang tercapainya rasa keadilan akibat timbulnya distorsi, pengecualian yang terlalu banyak, serta beberapa fasilitas yang kurang efektif.
Hal tersebut kembali berdampak pada sulitnya meningkatkan kepatuhan pajak serta optimalisasi penerimaan negara yang sesuai. Sebagaimana menurut Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo, menanggapi bahwa inti perubahan PPN dalam UU HPP yang krusial menyangkut mengenai perluasan basis PPN melalui refocusing pengecualian dan fasilitas PPN, kenaikan tarif PPN secara bertahap, serta penerapan PPN final. Pemerintah turut berupaya memberikan competitiveness advantage ketika masyarakat melihat barang berupa bahan baku.
Reformasi PPN dalam UU HPP berpacu pada peluang meningkatnya konsumsi sebagai dorongan dari bertumbuhnya kelompok menengah. UU HPP berpegangan erat dengan bertumbuhnya kelompok menengah dan menjadi suatu hal yang krusial dalam pembentukan kebijakan. Dengan ini, pemerintah berharap kebijakan reformasi PPN tersebut dapat meningkatkan penerimaan negara secara optimal dengan kebijakan yang menyesuaikan dengan kondisi yang ada.
Keputusan pemerintah dalam melakukan reformasi PPN menuai berbagai pendapat dari segala pihak. Masyarakat sendiri sebagai bagian dari pihak yang terlibat dalam praktik reformasi PPN awalnya menentang secara mutlak terkait isu rancangan kebijakan PPN yang beredar. Saat itu, muncul berita bahwa pemerintah akan memberlakukan pengenaan PPN terhadap sembako, yaitu penghapusan pengecualian 11 kelompok sembako menjadi barang kena pajak serta pengenaan PPN pada jasa pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial.
Mengingat kondisi saat ini yang sedang dilanda pandemi Covid-19, masyarakat terus beroposisi terhadap rancangan kebijakan tersebut melalui berbagai bentuk kritikan. Masyarakat menilai pemerintah terkesan cenderung menyulitkan masyarakat dalam memperoleh keuntungan dan pendapatan, seperti potensi akan rendahnya daya beli.
Meskipun pemerintah terus mengakui bahwa kebijakan yang akan dikeluarkan merupakan upaya pemerintah dalam memperbaiki perekonomian negara dengan terus memperhatikan keadilan bagi masyarakat, yang terlihat hanyalah pemerintah cenderung lebih mengedepankan revenue productivity dibanding equity. Antusiasme masyarakat terhadap pajak kian menurun. Masyarakat terus merasakan bahwa pajak hanyalah suatu paksaan yang merupakan beban mutlak bagi masyarakat dan keuntungan bagi pemerintah.
Setelah pertimbangan lebih lanjut dan menghasilkan keputusan final usai disahkannya UU HPP, beberapa masyarakat mulai menyambut positif reformasi PPN dalam UU HPP tersebut. Seperti pada kebijakan mengenai pembebasan PPN jasa kesehatan dan pendidikan, masih diatur bahwa terdapat beberapa kategori barang dan jasa yang dibebaskan dari pajak seperti pendidikan dan kesehatan. Selain itu, wacana pengenaan pajak terhadap barang sembako juga dibatalkan. Barang kebutuhan pokok tetap menjadi barang kena pajak, tetapi mendapatkan fasilitas dengan tidak dipungut PPN.
Terdapat beberapa kebijakan mengenai PPN dalam UU HPP yang menimbulkan polemik, salah satunya mengenai pengenaan PPN terhadap kelompok sembilan bahan pokok atau biasa disebut sembako. Kebijakan ini didominasi oleh opini kontra oleh berbagai pihak dan dinilai cenderung merugikan masyarakat. Pemerintah kemudian memberikan penjelasan bahwa kebijakan tersebut tidak sembarang ditargetkan pada barang sembako yang banyak digunakan masyarakat. Bahan pokok yang dimaksud merupakan bahan pokok yang digunakan oleh kalangan atas seperti barang premium.
Selain itu, yang juga menarik perhatian dan terasa dampaknya adalah terkait kenaikan tarif PPN tersebut. Meningkatnya tarif PPN tentu berdampak pada peningkatan harga barang yang dijual. Mereka yang kini masih kesulitan dalam mempertahankan kondisi ekonominya akan ditambah oleh potensi peningkatan harga barang di masa yang akan datang.
Dari yang sudah dipaparkan sebelumnya dapat dikatakan bahwa dalam pembuatan kebijakan dalam reformasi PPN, pemerintah lebih cenderung memperhatikan asas revenue productivity.
Dalam merumuskan kebijakan PPN memang tidak mudah untuk dilakukannya pemenuhan terhadap semua asas-asas pemungutan pajak. Terlebih lagi jika antara asas equity dengan asas revenue productivity berada pada titik kepentingan yang bertolak belakang. Oleh karena itu pemungutan pajak yang baik adalah pemungutan yang tetap memperhatikan asas revenue productivity dengan tetap mempertimbangkan aspek keadilannya.
Oleh: Divanya Aimee, Farras Agung, Muhammad Septiadi
Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia