Praja IPDN, Jurgen Asal Sulut, Menggugat Rektor IPDN ke PTUN Bandung

 

INDEPENDENNEWS.COM, LBANDUNG – Eks Praja IPDN asal Kelurahan Matani Satu Lingkungan I Kecamatan Tomohon Tengah Jurgen Ernst Past (18), Kota Tomohon, Sulawesi Utara resmi mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.
Dalam sidang pemeriksaan berkas perkara gugatan yang digelar di PTUN Bandung, Jalan Diponegoro, Selasa (23/2/2021) yang diwakili salah satunya oleh Kabag Hukum.

Advokat Sofyan Jimmy Yosadi dan Nur Setia Alam sebagai Kuasa hukum Jurgen, dalam gugatannya, Jurgen meminta agar majelis hakim PTUN Bandung membatalkan SK Rektor IPDN Nomor 880-539 Tahun 2020 tanggal 19 November 2020 tentang Pemberhentian Sebagai Praja IPDN atas nama Madya Praja Jurgen Ernst Paat NPP. 30.1301 asal Pendaftaran Sulawesi Utara.

Pemeriksaan berkas perkara hari ini dan sidang dilanjutkan pekan depan depan dengan agenda pemeriksaan pokok perkara,” ucap Sofjan di PTUN Bandung.

Ia mengatakan, agar majelis hakim memerintahkan IPDN untuk menunda, membatalkan dan mencabut SK tersebut serta merehabilitasi penggugat berupa pemulihan hak penggugat dalam kemampuan, kedudukan harkat dan martabat sebagai Praja IPDN,” ujar Sofyan.

Gugatan ini bermula saat Jurgen yang sempat tercatat sebagai praja IPDN paling muda di angkatannya, karena diterima saat usia 16 tahun, diberhentikan sebagai praja IPDN karena dianggap terlibat penganiayaan.

Penganiayaan terjadi pada 13 November 2020 sekira pukul 09.00 di toilet terhadap dua praja tingkat pertama asal Sulawesi Utara oleh sejumlah praja tingkat II. Jurgen termasuk praja tingkat II.
Penggugat dituduh sebagai salah satu praja yang melakukan pemukulan dan kekerasan fisik,” ucapnya.

Pada 13 November 2020 siang harinya, juga terjadi penganiayaan di salah satu ruang kelas oleh empat praja asal Sulawesi Utara kepada lima praja asal Sulawesi Utara dan satu orang praja menyaksikan peristiwa tersebut.Peristiwa itu ternyata baru diketahui oleh rektorat dan diproses pada 17 November 2020. Kemudian, pada 18 November, digelar pemeriksaan pada praja korban.
Kemudian, 19 November 2020, dimulai pemeriksaan kepada tujuh praja yang terlibat, termasuk Jurgen sekira pukul 18.00-19.00. Pada hari itu juga, enam praja di berhentikan termasuk penggugat dan satu praja turun pangkat lewat surat keputusan rektor dengan mengacu pada Permendagri Nomor 63 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Kehidupan Praja IPDN.

“Kami sampaikan bahwa Jurgen ini saat peristiwa 13 November pagi, sedang sakit diare dan bolak – balik ke toilet. Saat sedang ke toilet, ada penganiayaan terhadap praja asal Sulawesi Utara oleh sesama praja asal yang sama. Tapi Jurgen tidak melakukan pemukulan, dia hanya berada di tempat dan waktu yang salah,” ucap dia.
Hanya saja, mekanisme beracara di PTUN itu tidak untuk mencari substansi penganiayaan, seperti siapa yang memukul seperti dalam beracara hukum pidana di peradilan umum. Melainkan, mengadili kebijakan lembaga negara terhadap satu peristiwa, yakni SK Rektor IPDN tentang pemberhentian Jurgen Ernst Paat.

“Ya kami meminta agar majelis hakim membatalkan SK itu karena proses pemberhentiannya tidak sesuai dengan Permendagri Nomor 63 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Kehidupan Praja IPDN,” ucap Sofyan.

Dalam Permendagri itu, Pasal 35 ayat 5 mengatur soal pemeriksaan praja yang melakukan pelanggaran berat dilakukan secara tertutup dengan melibatkan dua pemeriksa.

“Tapi faktanya, pemeriksaan tidak tertutup, tidak satu-satu, tapi sekaligus. Sehingga kami menganggap pemeriksaan terhadap Jurgen tidak adil yang akhirnya diberhentikan tidak sesuai dengan Permendagri,” ucap dia. Di sisi lain, kata dia, korban dan orangtua korban juga sudah membuat surat pernyataan tertulis. Isinya menyatakan bahwa Jurgen ini tidak terlibat dalam pemukulan. Jurgen juga berasal dari keluarga yang taat beragama, sehingga tidak mungkin terlibat perbuatan tercela,” katanya.(*Amron Sihombing)

You might also like