Independennews.com | Medan – Restoran cepat saji Mie Gacoan di Jalan Williem Iskandar, Kenangan Baru, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kota Medan, kini menjadi sorotan tajam.
Setelah hampir satu tahun beroperasi, restoran tersebut diduga melanggar sejumlah aturan penting terkait pengelolaan lingkungan.
Indikasi pelanggaran tersebut mencakup ketiadaan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) hingga dugaan pengabaian sistem pengolahan limbah yang memadai.
Dalam sebuah investigasi mendalam, Ketua Umum DPP LSM Gudang Surat Suara Rakyat (GUSSUR), Bilser Silitonga, mengungkap sejumlah temuan yang membuat warga geram.
Inspeksi langsung yang dilakukan pada Jumat, 20 Desember 2024, menunjukkan bahwa restoran tersebut tidak memiliki fasilitas pengolahan limbah sesuai standar.
Bilser Silitonga menegaskan bahwa limbah cair dari restoran tersebut diduga langsung dibuang ke lingkungan tanpa proses pengolahan, menyebabkan bau busuk yang mencemari udara dan mengganggu kenyamanan warga.
“Setelah kami cek langsung ke lokasi, kami tidak melihat adanya sistem pengolahan limbah yang memadai. Air limbah diduga langsung dialirkan ke lingkungan sekitar. Bau busuk dari limbah makanan dan sisa pemotongan ayam membuat warga resah. Ini bukan hanya soal kenyamanan, tapi juga ancaman terhadap kesehatan masyarakat,” ungkap Bilser.
Selain masalah limbah, LSM GUSSUR juga menemukan indikasi pelanggaran dalam proses pemotongan ayam yang dilakukan di restoran tersebut.
Aktivitas yang seharusnya tunduk pada pengawasan dinas terkait, diduga dilakukan tanpa izin resmi dan melanggar aturan kebersihan.
“Jika benar pelanggaran ini terjadi, pemerintah harus bertindak tegas. Ini bukan sekadar masalah administrasi, tapi juga soal keselamatan masyarakat dan kelestarian lingkungan,” tambah Bilser.
Warga sekitar restoran mengaku semakin resah dengan kondisi lingkungan yang memburuk sejak Mie Gacoan mulai beroperasi.
Salah satu warga yang enggan disebutkan namanya mengatakan bahwa bau menyengat dari limbah sering tercium hingga radius ratusan meter, terutama pada sore hingga malam hari.
“Kami sudah tidak tahan, kami merasa seperti diabaikan. Setiap hari kami harus hidup dengan ketidaknyamanan ini,” ujarnya.
Warga lain menambahkan bahwa bau busuk tersebut membuat mereka sulit beraktivitas, terutama di dalam rumah.
“Kami merasa seperti tidak dianggap. Mereka hanya memikirkan keuntungan tanpa peduli pada kami yang tinggal di sekitar,” tegasnya.
Saat LSM Gussur meminta tanggapan, perwakilan manajemen Mie Gacoan mengklaim bahwa dokumen AMDAL dan fasilitas pengolahan limbah sedang dalam proses pengurusan.
Namun, menurut Bilser, alasan ini tidak dapat diterima mengingat restoran telah beroperasi hampir satu tahun tanpa dokumen yang lengkap.
“Restoran sebesar ini seharusnya sudah siap dengan semua izin sebelum beroperasi. Janji seperti ini hanya menunjukkan lemahnya tanggung jawab mereka terhadap masyarakat dan lingkungan,” ujar Bilser.
Kesabaran warga semakin menipis. Bersama LSM GUSSUR, mereka merencanakan aksi unjuk rasa di depan restoran untuk menuntut penutupan sementara hingga semua permasalahan terselesaikan.
“Kami tidak akan tinggal diam. Jika pemerintah tidak segera bertindak, kami akan melakukan aksi. Kami ingin restoran ini ditutup sampai mereka memenuhi semua persyaratan,” ujar salah satu pemuda setempat.
Dugaan pelanggaran itu bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 16 Tahun 2012, yang mewajibkan setiap usaha dengan potensi dampak lingkungan untuk memiliki dokumen AMDAL dan sistem pengelolaan limbah.
Selain itu, aktivitas pemotongan ayam tanpa izin resmi juga melanggar peraturan distribusi bahan pangan hewani yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
“Jika pelanggaran ini terus dibiarkan, dampaknya tidak hanya pada lingkungan, tetapi juga pada kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum,” pungkas Bilser.
LSM GUSSUR menyerukan kepada pemerintah daerah dan dinas terkait untuk segera melakukan inspeksi menyeluruh terhadap operasional restoran tersebut.
Mereka juga mendesak adanya sanksi tegas jika dugaan pelanggaran terbukti. Disisi lain, warga terus menunggu tindakan nyata untuk mengakhiri masalah yang sudah terlalu lama terjadi. (tbs)