Penulis: Mouline Zulfa Maharani, Chiara Sadrina, dan Iglesias Rimbun, Mahasiswa Ilmu Administrasi Niaga, Universitas Indonesia.
Kontroversi Asesmen TWK
IndependenNews.com | Isu tes wawasan kebangsaan telah menjadi sorotan pada tahun ini. Tes wawasan kebangsaan atau yang sering disebut dengan TWK adalah sebuah tes yang menguji seberapa dalam dan paham pengetahuan seseorang mengenai kebangsaan Indonesia yang mencakup nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, serta NKRI itu sendiri. Berkaitan dengan tes wawasan kebangsaan, pada UU No.5 Tahun 2014 tentang ASN, disebutkan bahwa untuk menjadi bagian dari ASN diperlukan adanya seleksi. Hingga pada saat adanya pembahasan peraturan KPK, persyaratan tersebut dibahas sehingga sempat menjadi perdebatan. Pada awalnya terdapat usulan oleh KPK bahwa tidak diperlukan adanya tes atau seleksi apapun, melainkan hanya lewat sebuah pernyataan. Namun, dalam beberapa diskusi, isu mengenai tes ini berkembang, sehingga adanya putusan mengenai pasal yang mengatur tes wawasan kebangsaan atau TWK ini. Alih status pegawai KPK menjadi ASN ini didasarkan pada UU No.19 Tahun 2019 yang berisikan bahwa pegawai KPK adalah ASN.
Tes wawasan kebangsaan yang telah dilakukan oleh pegawai KPK pada pertengahan tahun 2021 ini merupakan sebuah asesmen dalam menentukan peralihan status pegawai KPK menjadi ASN. Tes ini diberikan untuk menguji kemampuan calon-calon ASN, hal ini dilakukan karena salah satu fungsi dari ASN itu sendiri adalah sebagai pemersatu NKRI. Berdasarkan SK Pimpinan KPK No. 652/2021 yang ditandatangani oleh Ketua KPK Firli Bahuri sekaligus sebagai sosok yang membuat serta memerintahkan adanya tes wawasan kebangsaan, pegawai yang tidak lolos pada tes tersebut diminta untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya pada pimpinan masing-masing. Menurut hasil asesmen tersebut, terdapat 75 pegawai KPK secara sah tidak lulus asesmen TWK. Namun, dari 75 orang tersebut terdapat 24 pegawai yang dianggap masih dapat dibina dan diberikan kesempatan mengikuti pelatihan dan pendidikan bela negara. Dari 24 pegawai tersebut, hanya 18 pegawai yang dinyatakan bersedia mengikuti pelatihan dan pendidikan serta dinyatakan lulus menjadi ASN. Sehingga, pegawai KPK yang tidak lolos asesmen tes wawasan kebangsaan berjumlah 57 orang. Namun, 57 orang tersebut diberikan peluang kembali untuk ditarik menjadi ASN Polri dengan dikeluarkannya peraturan pengangkatan khusus 57 mantan pegawai KPK yang tertuang pada Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 15 Tahun 2021. Hingga penawaran peralihan status untuk menjadi ASN Polri tersebut menuai kontroversi.
Potret Kehidupan Eks Pegawai KPK yang Tidak Lulus Uji Asesmen TWK
Sebagaimana status kepegawaian para pegawai KPK yang beralih menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), maka diperlukan penyesuaian terhadap standarisasi pegawai KPK, dan itu menjadi alasan diujikannya TWK kepada para pegawai KPK. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dari 75 orang pegawai KPK yang tidak lulus asesmen TWK, 57 diantaranya masih diberikan peluang untuk ditarik menjadi bagian dari Polri. Hal ini pun seolah-olah menjawab kebingungan para pegawai KPK yang tidak lulus asesmen TWK tentang apa yang bisa mereka lakukan setelahnya di luar KPK.
Seperti yang terdapat dalam video hasil garapan Asumsi, yang berjudul “Kerah Biru: Perjuangan Eks Pegawai KPK Membuka Usaha”, dijelaskan bahwa nasib para pegawai KPK setelah diberhentikan dari jabatannya tidak menentu. Ada yang berusaha melanjutkan hidup sebagai tukang nasi goreng, penjual kue, dan ada yang menjaga kedai kopi. Semua itu dilakukan oleh para mantan pegawai KPK untuk bisa menyambung hidup. Raut kekecewaan dan kebingungan tentu menghiasi wajah mereka, karena merasa tidak ada dasar yang kuat untuk memberhentikan mereka, karena selama ini mereka merasa sudah bekerja dengan jujur dan dengan integritas yang kuat. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jenderal Pol Sigit Prabowo memiliki rencana untuk menarik 56 pegawai KPK yang tidak lolos dalam tes wawasan kebangsaan untuk menjadi ASN Polri. Menurutnya, 56 orang tersebut berpotensi dengan melihat rekam jejak pengalaman serta kemampuan pegawai-pegawai tersebut dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Para eks pegawai KPK menyambut baik statement dari Kapolri, yang memiliki wacana untuk merekrut kembali 57 pegawai KPK yang diberhentikan karena tidak lolos TWK, untuk menjadi ASN di Kepolisian Republik Indonesia.
Satu hal yang terus ditekankan oleh eks pegawai KPK terkait ajakan dari Kapolri untuk menjadi ASN adalah mereka harus mempertimbangkan dulu data-data berikut dengan aspek apa saja yang nanti akan dikerjakan oleh mereka, karena mereka tidak ingin muncul stigma bahwa mereka kembali masuk ke instansi negara hanya karena butuh pekerjaan. Mereka tetap ingin untuk memberantas korupsi di mana pun mereka diutus.
Kekhawatiran Perekrutan Eks Pegawai KPK menjadi ASN Polri
Sejak awal, asesmen TWK dan perencanaan peralihan status pegawai KPK menjadi ASN sudah menuai banyak kontroversi. Penawaran Polri untuk mengajak para pegawai KPK yang sebelumnya tak lulus TWK menunjukkan betapa labilnya sistem yang kini sedang terjadi. Salah satu eks penyedik KPK, Rieswin Rachell, berpendapat bahwa langkah pengangkatan para eks pegawai KPK menjadi ASN Polri makin membuktikan bahwa asesmen TWK dipergunakan menjadi ladang penyingkiran pegawai yang berintegritas tinggi.
Kekhawatiran dan tanda tanya besar muncul akan apakah adanya jaminan bahwa para pegawai eks KPK ini dapat secara leluasa menangani kasus korupsi sebagaimana yang mereka lakukan saat masih berada dalam lembaga KPK yang independen. Para pegawai eks KPK ini dikhawatirkan tak dapat secara gamblang dan terang-terangan dalam menangani kasus korupsi. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Nur Fajrin, salah satu pegiat antikorupsi dari Transparency International Indonesia (TII) yang mempertanyakan kepastian independensi eks pegawai KPK yang menjadi ASN Polri. Timbul juga kekhawatiran akan adanya intervensi dari pihak Polri terhadap penanganan kasus korupsi yang melibatkan oknum Polri itu sendiri. Langkah ini juga semakin diragukan mengingat maraknya kasus temuan korupsi yang terjadi di lembaga kepolisian itu sendiri. Hal ini juga turut didukung oleh survey yang dilakukan oleh TII yang menunjukkan bahwa Instansi Kepolisian berada di urutan ke-4 sebagai instansi terkorup di Indonesia.
Apabila kita menarik garis kebelakang dan melihat kasus Cicak vs Buaya yang sempat terjadi karena adanya perseteruan antara KPK, Polri, dan juga Kejaksaan Agung, maka, apakah langkah yang dilakukan oleh Polri tak akan mengakibatkan terjadinya konflik Cicak vs Buaya lagi? Mengingat mayoritas para pegawai eks KPK ini adalah pegawai yang berintegritas tinggi yang tak diragukan lagi kemampuannya untuk menangani kasus korupsi para kelas kakap. Contohnya saja Novel Baswedan yang pernah menangani kasus e-KTP dan kasus sengketa Pilkada yang menyangkut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. Selain itu, ada juga Ambarita Damanik yang pernah menangani kasus Bank Century dan Edhy Prabowo.
Kontroversi Pengangkatan Pegawai eks KPK menjadi ASN Polri dari Sudut Pandang Etika Netralitas
Pasal 2 huruf F Undang-undang Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN mengatur bahwa setiap pegawai ASN tidak boleh berpihak dari pengaruh manapun, dan tidak boleh memihak kepada kepentingan siapapun. Sedangkan, Adhi dan Herman (2009) menyatakan bahwa netralitas dalam ranah ASN diartikan sebagai kemampuan untuk bertindak secara profesional tanpa melibatkan kepentingan dari partai politik manapun. Dapat disimpulkan bahwa ASN sepatutnya akan bertindak objektif dan tidak bias dalam melakukan tugas dan wewenangnya. Maka, semestinya, dimanapun eks pegawai KPK ini berada, semestinya mereka akan tetap independen dan tak mendapat intervensi dari pihak manapun dalam memberantas kasus korupsi yang ada. Para pegawai eks KPK juga telah netral secara etika karena tak bertindak atas kehendak sendiri, melainkan menunggu kebijakan-kebijakan yang disusun selanjutnya.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, eks pegawai KPK yang tidak lulus uji asesmen TWK diminta untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada pimpinan masing-masing. Rancangan dan perdebatan mengenai penarikan dan pengangkatan eks pegawai KPK menjadi ASN di Polri masih berada dalam batasan-batasan yang diatur dalam etika netralitas. Dalam salah satu poin dari etika netralitas, menyebutkan bahwa perdebatan masih boleh dilakukan oleh para administrator (dalam hal ini adalah para stake holder di berbagai institusi negara) jika perdebatan tersebut masih dalam rancangan awal. Pro kontra yang timbul akibat isu ini menjadi suatu hal yang wajar dalam etika netralitas, karena pastinya perubahan mengakibatkan perbedaan.